Tabungan di Bank Syariah Bukan Wadiah
Bank syariah menyebut tabungan yang disetorkan nasabah sebagai wadiah. Namun konsekuensi akad tabungan di bank sama sekali tidak sesuai dengan konsep wadiah menurut aturan syariat. Para ulama menyimpulkan, tabungan di bank adalah utang.
Kita awali kajian ini dengan menyoal hakikat menabung di bank, lalu kita bahas hukum syariatnya.
Menabung atau Memberi Utang?
Penabung di bank baik konvensional maupun syariah mengenal istilah
rekening bank. Rekening adalah daftar catatan muamalat (transaksi)
antara nasabah dan bank (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya Husain Kamil, majalah Mujamma’ al-Fiqh al-Islami No. 9 juz 1 hal. 689). Rekening ini dinamakan dalam bahasa Arab dengan al-hisab al-jari (perhitungan yang berjalan), atau dalam bahasa kita dikenal dengan account. Dinamakan al-hisab al-jari karena terus bergerak, bertambah atau berkurang (lihat Bunuk Tijariyah bila Riba, hal. 74).
Sementara simpanan rekening bank, inilah tema yang kita kaji,
didefinisikan dengan “uang yang dititipkan oleh pemiliknya di sebuah
bank, dan bank siap membayarkan kepada pemiliknya kapan pun dia
mengambilnya”(lihat Mu’jam al-Mushthalahat at-Tijariyah wal Maliyah wal Mashrafiyah, hal. 269; al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Hasani, hal. 70; Buhuts fi Qadhaya Fiqhiyah Muashirah karya Qadhi al-Utsmani, hal. 350).
Berdasarkan penjelasan tersebut, menabung di bank memiliki dua hal
penting. Pertama, bank memegang tabungan (rekening) dan memiliki hak
untuk mengembangkannya, serta mengikat dirinya untuk bersedia
mengembalikan uang yang ketika diambil pemiliknya. Dan kedua, bank
mengharuskan dirinya untuk mengembalikan dana tersebut apa pun
risikonya, sehingga bank bertanggung jawab terhadap semua bentuk
kehilangan dan hal-hal yang tidak diinginkan.
Majma’ al-Fiqh al-Islami di bawah Liga Muslim Dunia memberikan
keputusan No. 86, 3/9 tentang tabungan sebagai berikut: “Tabungan bank,
baik di bank Islam maupun bank konvensional, adalah utang dari sudut
pandang fikih. Bank penerima tabungan adalah pihak yang bertanggung
jawab dan secara sah mengharuskan dirinya untuk mengembalikannya kepada
penabung saat dia menariknya dan keadaan bank (debitur) yang kaya tidak
mempengaruhi hukum utang.”
Keputusan tersebut berdasarkan dua alasan. Pertama,
bank memegang tabungan (rekening) dan memiliki hak untuk beraktivitas
dengan dana yang dia kumpulkan, serta mengikat dirinya untuk
mengembalikan uang yang senilai saat pemiliknya menariknya. Status
tabungan ini semakna dengan utang, sekalipun dinamakan titipan
(tabungan). Namun penamaan ini tidak sesuai dengan hakikat secara syar’i.
Karena jika disebut titipan (baca: wadiah), bank tidak
berhak menggunakan dana tersebut. Titipan berpijak kepada prinsip
penjagaan dan harus dikembalikan barangnya apa adanya (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Hasani, hal. 103 )
Sebagian orang menyanggahnya, bahwa tindakan bank terhadap dana
tabungan berpijak kepada izin nasabah, karena demikianlah yang umumnya
berlaku di masyarakat kita. Tentunya ini tidak mengeluarkan titipan dari
maknanya, selama masih ada unsur penjagaan dengan tetap mengembalikan
yang semisal (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Amin, hal. 234).
Bantahan: Sanggahan di atas tidak bisa diterima.
Aktivitas bank terhadap tabungan nasabah telah mengeluarkannya dari
statusnya dari hukum titipan (wadiah), sekalipun dengan izin
pemiliknya. Jika bentuk aktivitasnya dengan mengambil manfaat dan
barangnya masih utuh, maka ia adalah pinjaman (’Aariyah). Namun
bila yang memegang titipan menggunakannya sampai habis, seperti dana
tabungan, maka statusnya adalah utang yang wajib diganti.
Kedua, bank mengharuskan dirinya mengembalikan dana
yang semisal pada saat penabung menariknya, dan bank bertanggung jawab
atas segala risiko terhadap tabungan nasabah, baik karena kelalaian bank
atau tidak. Fenomena ini jelas merupakan konsekuensi akad
utang-piutang. Lain halnya dengan titipan. Barang titipan harus
dikembalikan sebagaimana apa adanya dan penerimanya tidak bertanggung
jawab terhadap segala risiko, kecuali bila dia melakukan pelanggaran
padanya atau melalaikannya (lihat ar-Riba wal-Muamalat al-Mashrafiyah, hal. 347; dan Buhuts fi Qadhaya Fiqhiyah Muashirah, hal. 253).
Alasan tersebut disanggah. Keharusan bank mengembalikan saat terjadi
kehilangan sekalipun bank tidak melakukan tindak pelanggaran padanya
atau lalai hanyalah berlaku sesuai dengan kebiasan transaksi perbankan.
Tentunya hal ini tidak sejalan dengan aturan titipan syar’i (wadiah), yang merupakan amanat yang tidak mendapat jaminan keamanan, selama tidak terjadi pelanggaran atau kelalaian (lihat al-Masharif al-Islamiyah karya al-Haiti, hal. 264).
Bantahan: Sanggahan di atas dijawab, hakikat-hakikat syar’i
tidak patut dibenturkan dengan kebiasaan perbankan dan hakikat tersebut
tidak berubah karenanya. Terjadinya hal itu hanyalah disebabkan opini
bahwa uang-uang tersebut adalah titipan (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah, hal. 101).
Ada sebagian yang menyelisihi keterangan di atas dengan dasar beberapa argumen.
Pertama, rekening tersebut berada dalam kewenangan
nasabah. Dia bisa menarik dana secara keseluruhan kapan pun diinginkan,
tanpa terhambat syarat apa pun. Inilah makna titipan (wadiah). (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Amin, hal. 233)..
Bantahan: Maksud titipan adalah
mengembalikannya saat diminta pemiliknya. Juga agar orang yang dititipi,
tidak melakukan aktivitas terhadap barang yang dititipkan. Sementara
itu bank bisa beraktivitas terhadap dana nasabah dan mengembalikan
gantinya. Ini sama persis dengan utang (lihat al-Manfa’ah wal Qardh, hal. 304).
Kedua, tujuan penabung bukan meminjamkan uangnya
kepada bank. Juga tidak bermaksud melakukan kongsi dengan bank untuk
mencari keuntungan. Namun hanya ingin menyimpan uangnya di bank agar
bank menjaganya. Selama penabung tidak bermaksud mengutangkan, tidak
patut disebut utang (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Amin, hal. 233).
Bantahan: Alasan tersebut
disanggah. Keadaan penabung yang tidak bermaksud memberi utang kepada
bank tidak mempengaruhi hakikat transaksi. Karena kebanyakan penabung
tidak peduli beda makna utang dan titipan, dan bagi mereka, terminologi
itu tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah hasil riil. Nasabah
tidak akan bersedia menabung jika tanpa ada jaminan dan tanggung jawab
terhadap segala risiko. Adanya jaminan dan tanggung jawab terhadap
segala risiko itu berlaku untuk utang bukan titipan. Sementara itu pihak
bank tidak menerima tabungan kecuali dengan tujuan memutar dana
tersebut. Inilah utang yang sejatinya, sehingga terbukti bahwa tujuan
mereka adalah memberi utang, bukan menitipkan, sebagaimana yang dikupas
dalam tinjauan fikih. Dalam akad yang dilihat adalah hakikatnya, bukan
namanya (lihat Ahkam al-Wada`i’ al-Mashrafiyah dalam Buhuts fi Qadhaya Fiqhiyah Muashirah, hal. 253).
Ketiga, bank tidak menerima uang tabungan sebagai
utang-piutang. Tetapi sebagai titipan. Buktinya, bank memungut biaya
administrasi atas penjagaannya terhadap uang tersebut dengan tetap
sangat berhati-hati beraktivitas terhadap harta dan mengembalikannya
dengan segera saat pemiliknya memintanya (lihat al-Wada`i’ al-Mashrafiyah karya al-Amin, hal. 233).
Bantahan: Alasan tersebut tidak
bisa diterima, karena bank memungut biaya demi pelayanan yang diberikan
kepada penabung seperti menerbitkan daftar cek, kartu ATM dan
sebagainya. Bukan demi penjagaan yang diberikan bank. Sementara
pernyataan bahwa bank menggunakan dana tersebut dengan sangat hati-hati,
tidak bisa diterima. Karena bank mencampur uang nasabah dan
menggunakannya seolah-olah pemilik yang sebenarnya.
Kalaupun kita bisa menerima alasan bank bertindak ekstra hati-hati,
hal itu karena pertimbangan sisi-sisi kerugiannya. Ada pun alasan bank
mengembalikannya dengan segera, hal itu berpijak kepada kebiasaan akad
di antara kedua belah pihak, serta demi menjaga kepercayaan masyarakat
serta menarik minat pemilik uang untuk menabung di bank (lihat al-Manfa’ah wal Qardh, hal. 305).
Kemudian nasabah berhak menuntut ganti utang (uang yang dia pinjamkan
ke bank) saat itu juga. Karena memang dalam tanggungan bank saat itu
juga, dia berhak menagihnya. Sebagaimana utang yang sudah jatuh tempo.
Selain itu permintaannya merupakan sebab yang mewajibkan bank
mengembalikan semisalnya atau seharga dengannya, maka ia menjadi kontan
saat itu juga (lihat Bada`i’ ash-Shana`i’ 7/396 dan Aqd al-Qardh fi asy-Syaria’ah al-Islamiyyah karya Nazih Hammad, hal. 61).
Kesimpulan: pendapat yang kuat berdasarkan sudut pandang fikih menyatakan tabungan bank adalah utang, bukan titipan (wadiah). Hal ini karena dua alas an:
Pertama, hakikat syar’i uang sejalan dengan definisi utang: “Menyerahkan uang kepada orang lain untuk dimanfaatkan dan mengembalikan gantinya” (lihat Radd al-Muhtar 5/161, Bulghah as-Salik 3/290, dan Mughni al-Muhtaj 3/29).
Kedua, tanggung jawab menjamin secara mutlak, baik
karena kelalaian bank atau di luar itu. Aturan ini sejalan dengan akad
utang-piutang. Berbeda dengan titipan yang berpijak pada prinsip
penerimanya orang yang dipercaya, sehingga dia tidak bertanggung jawab
kecuali bila melanggar atau lalai (lihat Bada`i’aash-Shana`i’ 6/211, at-Taj wal Iklil 7/268, dan Aqd al-Wadi’ah fi asy-Syaria’ah al-Islamiyyah karya Nazih Hammad, hal. 61).
Apabila jelas hakikat menabung adalah memberikan utang kepada pihak
bank, maka diharamkan adanya profit keuntungan atas tabungan tersebut,
karena itu adalah riba. Demikian juga, layakkah pihak bank mengambil
biaya administrasi atas tabungan yang pada hakikatnya utang-piutang?
Masihkah ingin menabung dengan membayar administrasi dan mengambil
keuntungan darinya?***
Kholid Syamhudi, Lc.
(Rubrik Konsultasi Syariah Majalah Pengusaha Muslim edisi 25)
إرسال تعليق